Biografi Imam Syamsuddin As Sakhawi

Biografi Syamsuddin As-Sakhawi

No Comments

Photo of author

By Afiyah Media

Tulisan berikut ini mengenalkan sejarah hidup atau biografi singkat Al-‘Allamah Syamsuddin As-Sakhawi rahimahullah, Al-Hafizh (ahli hadits) Al-Muarrikh (ahli sejarah) yang mana dia berada di puncak ilmu hadits dan ilmu tarikh di Mesir.

Dalam tulisan ini dibahas tentang profil Imam As-Sakhawi, karya-karyanya dan pandangan para ulama terhadap dirinya berdasarkan referensi yang terpercaya.

Profil Imam Al-Hafizh As-Sakhawi

Nasab Keluarga

Dia adalah Imam Al-‘Allamah Syamsuddin Abu al-Khair Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad As-Sakhawi Al-Qahiri. Dia berasal dari desa Sakha di Mesir. Dia lahir di Kairo pada bulan Rabiul Awal 831 Hijriah di lingkungan yang berdekatan dengan sekolah Syaikhul Islam Al-Balqini, tempat ayah dan kakeknya bermukim.

Pendidikan Awal

Ketika dia berusia empat tahun, dia pindah ke rumah tetangganya yang dibeli ayahnya, yang berada di dekat tempat tinggal gurunya, Ibnu Hajar.

Ayahnya memasukkannya ke kuttab ( sekolah kecil untuk mengajar anak-anak membaca, menulis dan menghafal Al-Quran) dekat Al-Maidan yang diurus oleh seorang guru terhormat ‘Isa bin Ahmad Al-Muqassi An-Nasikh.

Dia tinggal di sana sebentar saja, kemudian dipindahkan ke rumah suami saudara perempuannya, yaitu seorang ahli fikih yang shaleh, Al-Badr Husain bin Ahmad Al-Azhari. Di sana, dia menghafal Al-Qur’an dan melaksanakan shalat tarawih bersama orang-orang selama bulan Ramadhan.

Setelah itu, ayahnya membawanya kepada ahli fikih terdekat, yaitu Syaikh Al-Mufid An-Nafa’ Al-Qudwah Al-Muaddib Asy-Syams Muhammad bin Ahmad An-Nahriri Adh-Dharir.

Mulazamah Ilmu

Kemudian, dia bermulazamah (belajar secara langsung dan terus berkelanjutan) kepada gurunya, yaitu pemimpin para imam Asy-Syihab Ibnu Hajar Al-Asqolani. Dia mendengarkan banyak hadits darinya bersama ayahnya di malam hari.

Pertama kali dia berinteraksi dengan gurunya dalam hal ini adalah ketika dia berusia delapan belas tahun. Allah menanamkan kecintaan kepada gurunya di dalam hatinya, sehingga dia rutin menghadiri majelisnya.

Berkah beliau melimpah kepadanya dalam hal ini, sehingga dia sepenuhnya mendedikasikan dirinya kepadanya dengan penuh kesungguhan yang sulit untuk digambarkan.

Dia menjadi sangat rajin menghadiri majelis Ibnu Hajar hingga dia menyerap pengetahuan yang sangat luas darinya dan menjadi salah satu yang paling banyak mendapatkan pengetahuan dari gurunya.

Hal yang menguntungkannya dalam hal ini adalah lokasi rumahnya yang dekat dengan rumah gurunya. Dia hampir tidak melewatkan apa pun yang diajarkan oleh gurunya, kecuali hanya dalam keadaan yang jarang terjadi.

Ketika gurunya, Ibnu Hajar, mengetahui betapa kuat antusiasmenya terhadap ilmu, Ibnu Hajar kadang-kadang mengirim salah seorang pelayannya ke rumahnya untuk memanggilnya agar datang untuk membaca.

Gurunya memberinya izin kepadanya untuk membacakan pelajaran ( الإقراء ) , ifadah (الإفادة ) (menjelaskan faedah (kandungan pelajaran) dari suatu topik) dan mengarang buku. Dia juga menjadi imam dalam shalat tarawih di beberapa malam Ramadhan.

Dia belajar hadits dari Ibnu Hajar dan menjadi sangat mahir di dalamnya. Dia tidak pernah meninggalkan dan lepas dari mengikuti gurunya, dan tidak pernah berganti untuk mengikuti ulama lain dalam bidang-bidang yang berbeda, karena takut akan kehilangan dirinya.

Dia juga tidak pernah melakukan perjalanan ke daerah yang jauh dan bahkan tidak pernah melaksanakan ibadah haji kecuali setelah wafatnya gurunya, Ibnu Hajar.

Meskipun demikian, As-Sakhawi memperoleh banyak diwan hadits (kitab hadits) dan bagian-bagian hadits dari para ulama Mesir dan orang – orang yang datang ke Mesir dengan bacaannya sendiri dan bacaan orang lain pada waktu-waktu yang tidak bertabrakan dengan waktu gurunya (Ibnu Hajar), terutama ketika gurunya tersebut sibuk dengan tugas kehakiman dan urusan terkait lainnya.

Akhirnya, As-Sakhawi menjadi salah satu tokoh paling didengar dan paling banyak riwayatnya pada masanya.[i] Hubungan yang erat antara murid dan gurunya berlanjut hingga Ibnu Hajar meninggal pada akhir tahun 852 Hijriyah.

Perjalanan Ilmiyah

Di sinilah dimulai tahap kedua dalam kehidupan As-Sakhawi, yaitu tahap studi dan penelitian di luar Mesir. Setelah kematian Ibnu Hajar, As-Sakhawi melakukan perjalanan ke banyak wilayah untuk menuntut ilmu.

Di Mesir, dia melakukan perjalanan ke Dimyath, Al-Manshurah, Ar-Rasyid, dan sebagainya. Kemudian dia melakukan perjalanan ke Makkah, Madinah, Damaskus, Aleppo, Baitul Maqdis, Nablus, dan belajar dari banyak ulama di kota-kota tersebut dan mengambil ilmu dari mereka.

Pada saat itu, As-Sakhawi berusia dua puluh dua (22) tahun, tetapi meskipun masih muda, dia telah menonjol dalam banyak bidang ilmu yang dipelajarinya. Selama bertahun-tahun yang panjang ia habiskan bersama Ibnu Hajar, ia berhasil menguasai banyak ilmu dan pengetahuan.

Pengaruh Ibnu Hajar pada gaya dan metode as-Sakhawi sangat besar. Bahkan kita dapat mengatakan bahwa setelah Ibnu Hajar, As-Sakhawi menjadi penjaga ilmunya dan warisannya.

Dia menjadi perwakilan terbaik dari aliran Ibnu Hajar. Bahkan, setelah syaikhnya tersebut, dia menjadi pemimpin dan guru besar yang kuat yang mengangkat tinggi panjinya dan membawa metode aliran tersebut, bahkan hingga akhir abad kesembilan.

Ibnu Hajar sendiri telah mengisyaratkan fakta ini di akhir hari-harinya di dunia ini dan sering menggambarkan As-Sakhawi sebagai “representasi dari kelompoknya” atau “perwakilan dari kelompoknya”.

Perjalanan ke Makkah & Madinah

Setelah kematian gurunya, As-Sakhawi melakukan perjalanan ke Dimyath dan belajar dengan para ulama di sana pada saat itu. Kemudian, dia pergi ke Makkah bersama ibunya untuk menunaikan ibadah haji.

Dia memanfaatkan kesempatan ini dengan belajar dari para ulama di Makkah dan Madinah, serta mengunjungi semua tempat suci. Kemudian, dia kembali ke Mesir dan pergi ke Al-Iskandariyah (Aleksandria) untuk beberapa waktu, di mana dia belajar dari semua ulama terkemuka di kota itu, dan mendapatkan banyak faedah dan pengetahuan.

Perjalanan ke Syam

Kemudian, dia memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Syam untuk mengunjungi institusi-institusi pendidikannya dan mengenal para ulama di sana. Dia melakukan perjalanan ke Palestina, mengunjungi Baitul Maqdis, Hebron, dan Nablus.

Kemudian, dia menuju Suriah, mengunjungi Damaskus, Homs, dan Hama, dan akhirnya menetap untuk sementara waktu di Aleppo. Selama perjalanan ini, dia terus belajar dan membaca karya-karya ulama terkemuka di kota-kota tersebut.

Dia mengatakan kepada kita bahwa “selama perjalanan ini, dia mengumpulkan lebih banyak riwayat dengan mendengar dan membaca daripada yang dapat diungkapkan dengan kata-kata”.

Dari daftar buku yang dia pelajari dan baca selama perjalanannya, terlihat bahwa As-Sakhawi tertarik pada studi hadits, Qiroat, Nahwu, Fiqh, ilmu Balaghah, dan tasawuf. As-Sakhawi tidak memberikan tanggal pasti perjalanan ini, tetapi tampaknya perjalanan tersebut berlangsung selama beberapa tahun.

Kembali ke Mesir

Setelah kembali ke Mesir, As-Sakhawi fokus pada kegiatan pengajaran, terutama pengajaran hadits, kadang-kadang di rumahnya sendiri, kadang-kadang di Khanqah (Ma’had) sufi terkenal yang dikenal dengan sebutan Sa’id As-Su’ada.

Dia juga diundang untuk mengajar di waktu yang beragam di sekolah-sekolah terkemuka di Kairo seperti Darul Hadits al-Kamiliyyah, as-Sarghitmisyiyyah, azh-Zhahiriyyah, al-Burquqiyah, al-Fadhiliyyah, dan lain-lain. Namanya semakin dikenal dan diikuti oleh para siswa dari segala penjuru.

Pada tahun 870 H, dia melakukan perjalanan haji untuk kedua kalinya bersama keluarganya. Pada saat itu dia sudah menikah dan memiliki beberapa anak, seperti yang dapat dipahami dari referensinya terhadap kelahiran putranya, Ahmad.

Dia juga ditemani oleh ayahnya dan kedua saudaranya yang lebih tua dalam perjalanan haji kedua tersebut. Temannya dan gurunya, An-Najm bin Fahd Al-Hasyimi, yang merupakan salah satu tokoh terkemuka pada masa itu, juga ikut serta dalam perjalanan tersebut.

Dia belajar di Makkah untuk beberapa waktu dan membacakan beberapa karya tulisannya dan tulisan-tulisan orang lain di Masjidil Haram. Setelah kembali ke Kairo, dia melanjutkan pengajaran dan penulisan karyanya. Dia mengambil tempat yang berpengaruh dalam ilmu hadits, mengisi posisi yang sebelumnya dipegang oleh gurunya, Ibnu Hajar, selama tiga puluh tahun sebelumnya.

Kemudian, As-Sakhawi melakukan haji untuk ketiga kalinya pada tahun 885 H, dan dia menghabiskan setahun di Makkah untuk belajar dan mengajar. Kemudian, pada tahun 887 H, dia melakukan haji lagi dan menghabiskan waktu di sana untuk belajar dan membacakan pelajaran.

Dia melakukan haji untuk kelima kalinya pada tahun 892 H dan menghabiskan satu tahun lagi di sana untuk belajar dan membacakan pelajaran. Kemudian, pada tahun 894 H, dia melakukan haji lagi dan membaca banyak dari pelajaran-pelajarannya dan karangan-karangannya. Makkah menjadi tempat kedua baginya, dan dia menulis banyak karya di sana.

Fokus Mengajar Ilmu

Ketika kembali ke Kairo pada tahun 898 H, As-Sakhawi menetap di rumahnya. Dia menolak untuk mengajar dan membacakan pelajaran di lembaga-lembaga pendidikan dan halaqah-halaqah umum (untuk menghindari persaingan dengan orang-orang yang mengaku sebagai ahli ilmu) seperti yang dikatakannya.

Dia juga meninggalkan fatwa dan membatasi dirinya hanya pada pembacaan di rumahnya untuk para muridnya yang khusus. Pada saat itu, As-Sakhawi telah mencapai usia tujuh puluh tahun, tetapi dia terus mendedikasikan dirinya pada pengajaran dan penulisan.

Dia telah mencapai posisi kepemimpinan dalam sebagian besar bidang ilmu pada masanya, terutama dalam ilmu hadits. Bahkan ada yang mengatakan bahwa dia melampaui gurunya, Ibnu Hajar, dalam bidang ini.

Dia juga menguasai disiplin ilmu Al-Jarh wat Ta’dil ( penilaian terhadap perawi hadits dari sisi kebaikan dan cacatnya), dan dikatakan bahwa tidak ada yang mencapai posisinya dalam bidang ini sejak al-Hafizh Adz-Dzahabi.

Popularitasnya melampaui batas-batas Mesir sejak lama dan terkenal di seluruh dunia Islam, terutama di wilayah Syam dan Hijaz, di mana dia diterima oleh ratusan ulama dan mahasiswa.

As-Sakhawi, meskipun memiliki reputasi akademik yang tinggi dan pengaruh yang kuat, menjauh dari bidang politik, intrik istana, dan posisi resmi pemerintahan. Temannya, Al-Amir Yashbak al-Dawadari, mengusulkan agar dia membaca sejarah di majelis Sultan Azh-Zhahir Khushqadam, tetapi dia menolak.

Kemudian, dia ditawari untuk menduduki jabatan di pengadilan, tetapi dia meminta maaf dan mengusulkan agar lawan dan pesaingnya, as-Suyuthi, saja yang diangkat sebagai penggantinya, meskipun terkenal ada persaingan sastra di antara mereka.

As-Sakhawi tinggal di Kairo selama beberapa waktu, kemudian dia pergi ke Mekah untuk melaksanakan haji untuk kali ketujuh. Setelah menunaikan ibadah haji, dia fokus pada membacakan pelajaran dan mengajar.

Wafatnya

Dia sering bolak-balik antara Mekah dan Madinah, namun akhirnya menetap di Madinah. Dia terus membacakan pelajaran di sana hingga wafat pada saat menjelang petang hari Ahad, tanggal 28 Sya’ban tahun 902 H/1497 M, dalam usia 71 tahun.

Dia dimakamkan di Baqi’ di samping makam Imam Malik. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadanya dengan rahmat yang luas.[ii]

Karya Imam As-Sakhawi

Karya Imam As Sakhawi Bidang Hadits dan Bidang Sejarah

Imam Al-Hafizh Syamsuddin As-Sakhawi rahimahullah termasuk ulama yang banyak mengarang kitab dalam berbagai disiplin ilmu terutama ilmu hadits dan sejarah (tarikh). Karangan-karangannya dikenal berkualitas tinggi sehingga mendapat banyak pujian dari para ulama.

Dalam kitab Tsabat Al-Balwa (hal. 375) disebutkan bahwa As-Sakhawi menceritakan dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa dia memiliki 160 karangan hingga saat itu. Sedangkan Al-Kattani menukil dalam Fihrasul Faharis (2/989) bahwa karangannya lebih dari 400 jilid sebagaimana dia sebutkan dan rincikan dalam banyak ijazahnya.[iii]

Di antara karya Imam As-Sakhawi yang cukup dikenal adalah sebagai berikut:

Bidang Hadits

  1. Al-Maqoshid Al-Hasanah fil Ahadits Al-Musytaharoh ( المقاصد الحسنة في الأحاديث المشتهرة )
  2. Fathul Mughits bi Syarh Alfiyatil Hadits ( فتح المغيث بشرح ألفية الحديث )
  3. Al-Ghoyah fi Syarh Al-Hidayah ( الغاية في شرح الهداية )
  4. Al-Akhbar Al- Mukallalah fil Ahadits Al-Musalsalah ( الأخبار المكللة في الأحاديث المسلسلة )
  5. Syarh Asy-Syamail An-Nabawiyyah li At-Tirmidzi (شرح الشمائل النبوية للترمذي)
  6. Tuhfah Al-Munifah fima Waqo’a min Hadits Abi Hanifah (التحفة المنيفة فيما وقع من حديث أبي حنيفة)

Bidang Tarikh

  1. At-Tabr Al-Masbuk fi Dzail As-Suluk ( التبر المسبوك في ذيل السلوك )
  2. Raf’ul Ashr ‘an Qudhotil Mishr (رفع الأصر عن قضاة مصر)
  3. Adh-Dhou’ Al-Lami’ fi A’yan Al-Qorn At-Taas’i (الضوء اللامع في أعيان القرن التاسع).

Ini karya As-Sakhawi yang terbesar dan terbaik. Imam As-Sakhawi berkata tentang kitab ini, ”Ini adalah sebuah buku di mana saya mengumpulkan di dalamnya orang – orang yang saya ketahui di abad ini yang dimulai pada tahun delapan ratus satu (801 H), dan diakhiri pada tahun sembilan ratus dua (902 H).

Buku ini mencakup para ulama, hakim, orang-orang shalih, perawi, sastrawan, penyair, khalifah, raja, para amir, pembesar negara, baik dari Mesir, Syam, Hijaz, Yaman, Romawi, India, Timur, maupun Maghribi.

Selain itu, saya juga menyebutkan beberapa individu yang dikenal memiliki keutamaan dan yang semacam itu dari kalangan Ahli Dzimmah ( penduduk non-Muslim di Negara Islam).”

  1. Asy-Syafi minal Alm fi Wafayyat Al-Umam (الشافي من الألم في وفيات الأمم)
  2. Kitab Al-Jauhar Wa Ad-Duror (كتاب الجوهر والدرر ). Ini merupakan buku biografi gurunya yaitu Ibnu Hajar dalam satu jilid besar.
  3. Tuhfatul Ahbab wa Bughyatuth Thullab Fil Khuthath wal Mazarot wal Biqo’ al-Mubarokat (تحفة الأحباب وبغية الطلاب في الخطط والمزارات والبقاع المباركات)
  4. Al-I’lan bi At-Taubikh Liman ‘Dzamma At-Tarikh (الإعلان بالتوبيخ لمن ذم التاريخ)[iv]

Komentar Ulama Tentang Beliau / Karya Beliau

Banyak ulama yang mendapati biografi Al-Hafizh As-Sakhawi, menyebutkan banyak kebaikan dan kelebihannya yang menunjukkan tingginya kedudukan dan posisinya.

Komentar Ibnu Imad Al Hanbali

Inilah Ibnu Imad al-Hanbali yang berkata tentang As-Sakhawi, ”Dia berada di puncak ilmu jarh wa ta’dil hingga dikatakan bahwa setelah Adz-Dzahabi tidak ada seorang pun yang mengikuti jejaknya.”

Komentar Asy Syaukani

Setelah Asy-Syaukani menyebutkan biografi As-Sakhawi dalam kitab Al-Badr Ath-Thali’, dia berkata, ”Secara keseluruhan, dia adalah salah satu dari imam-imam terbesar. Bahkan muridnya, Syaikh Jarullah bin Fahd, sebagaimana apa yang dia tulis setelah penulis biografi menulis tentang dirinya sendiri dalam kitab Adh-Dhou’ Al-Lami’, mengatakan, ‘Murid kami, Syaikh Jarullah bin Fahd Al-Makki, berkata bahwa guru kami, sang penulis biografi ini, adalah orang yang benar dalam menyebutkan sifat-sifat baik dirinya sendiri. Demi Allah yang Mahaagung, saya tidak pernah melihat di antara para Hafizh mutaakhirin yang seperti dirinya. Saya tidak tahu sekarang siapa yang memiliki ilmu-ilmu hadits seperti dia, yang lebih banyak dan lebih baik karangannya seperti dirinya.

Demikian pula, ilmunya diwarisi oleh para ulama dari berbagai kota, dari kalangan para syaikh, para penuntut ilmu, dan para sahabatnya. Dia memiliki pengetahuan yang luas tentang nama-nama perawi, kondisi-kondisi mereka dan Al-Jarh wat Ta’dil. Dia adalah sumber otoritatif dalam hal ini.

Beberapa ulama bahkan mengatakan bahwa setelah Al-Hafizh Al-Dzahabi, tidak ada yang seperti dia yang mengikuti jalan ini. Setelah meninggalnya, matilah disiplin ilmu hadits, dan orang-orang sangat kehilangan atas kepergian beliau. Tidak ada yang bisa menggantikan posisinya setelah itu.”[v]

Inilah sekilas profil tentang Syaikh Al-‘Allamah Syamsuddin As-Sakhawi rahimahullah dan beberapa karyanya serta penilaian sejumlah ulama tentang dirinya. Semoga tulisan ini bermanfaat menambah wawasan kaum Muslimin tentang tokoh-tokoh besar mereka.

Apa saja yang sesuai dengen kebenaran dalam tulisan ini adalah karena taufik dan rahmat Allah Ta’ala semata. Dan bila ada kesalahan di dalamnya adalah dari kami dan setan.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuni semua kesalahan kami dan kaum Muslimin.


[i] https://dorar.net/history/event/3546

[ii] https://islamstory.com/ar/artical/22503/%D8%B4%D9%85%D8%B3-%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%8A%D9%86-%D8%A7%D9%84%D8%B3%D8%AE%D8%A7%D9%88%D9%8A

[iii] Muallafaat As-Sakhawi, Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Sulaiman dan Abu Hudzaifah Ahmad Asy-Syaqirat, Dar Ibni Hazm, Beirut, 1419 H / 1998 M, hal. 6.

[iv] https://islamstory.com/ar/artical/22503/%D8%B4%D9%85%D8%B3-%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%8A%D9%86-%D8%A7%D9%84%D8%B3%D8%AE%D8%A7%D9%88%D9%8A

[v] https://islamstory.com/ar/artical/22503/%D8%B4%D9%85%D8%B3-%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%8A%D9%86-%D8%A7%D9%84%D8%B3%D8%AE%D8%A7%D9%88%D9%8A

Leave a Comment