Kullu qardhin jarra manfa’ah fahuwa riba merupakan salah satu kaidah fikih terkait riba. Kaidah fikih ini didasarkan pada hadits Nabi Muhammad ﷺ.
Kaidah ini penting untuk dipahami secara benar sebagaimana dijelaskan oleh ahli ilmu agar kita tidak terperangkap kepada praktek muamalah yang haram atau sebaliknya menganggap praktek yang sebenarnya tidak haram namun justru dianggap haram.
Kaidah Fikih
Lafazh arab dari kaidah kullu qardhin jarra manfa’ah fahuwa riba adalah sebagai berikut:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
Arti
Arti dari kaidah di atas adalah sebagai berikut:
Setiap pinjaman yang memberikan keuntungan kepada pemberi pinjaman adalah riba.
Penjelasan Kaidah
Kaidah di atas sebenarnya berasal dari hadits. Hanya saja haditsnya dha’if atau lemah. Berikut penjelasannya:
Hadits Kullu Qardin Jarra Naf’an Fahuwa Riba
Kaidah di atas sebenarnya berasal dari hadits. Hanya saja haditsnya dha’if atau lemah. Dr. Husamuddin ‘Affanah dalam kitabnya Fiqh At-Tajir Al-Muslim menjelaskan:
”Disebutkan dalam hadits Nabi ﷺ ,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعاً فَهُوَ رِبًا
“Setiap pinjaman yang memberikan keuntungan kepada pemberi pinjaman adalah riba.”
Namun, hadits dengan lafazh ini tidak shahih dari Nabi ﷺ . Ada riwayat lain dengan lafazh:
أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – نَهَى عَنْ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً
“Bahwa Nabi ﷺ melarang pinjaman yang memberikan keuntungan kepada pemberi pinjaman.”
Riwayat ini disampaikan oleh Harits bin Abi Usamah dalam musnadnya, dan dalam rantai sanadnya terdapat perawi yang matruk (perawi yang tertuduh suka dusta), seperti yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Talkhis al-Habir 3/34.
Riwayat lainnya disebutkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan 5/350 dengan lafazh:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ وَجْهٌ مِنْ وُجُوْهِ الرِّبَا
“Setiap pinjaman yang memberikan keuntungan kepada pemberi pinjaman adalah salah satu bentuk riba.”
Al-Baihaqi berkata,”Hadits mauquf (terhenti di sahabat Nabi ﷺ ). Al-Baihaqi juga meriwayatkannya dalam kitab Ma’rifat as-Sunan wa al-Atsar 8/169, namun hadits ini dha’if.
al-Hafizh Ibnu Hajar menyatakan hadits ini dha’if seperti yang disebutkan sebelumnya, dan juga dinyatakan dha’if oleh Al-‘Allamah al-Albani dalam kitab Irwa’ al-Ghalil 5/235.
Hadits Lemah Namun Makna Benar
Meskipun hadits ini lemah, namun maknanya benar, hanya saja tidak bersifat mutlak. Pinjaman yang memberikan keuntungan kepada peminjam dan menjadi bentuk riba atau salah satu bentuk riba adalah pinjaman di mana pemberi pinjaman mensyaratkan adanya manfaat (keuntungan) pada pinjaman tersebut untuk dirinya sendiri. Hal ini terlarang secara syar’i.
Namun, jika tidak ada syarat seperti itu, bila peminjam mengembalikan pinjaman kepada pemberi pinjaman diiringi dengan pemberian hadiah, misalnya, tanpa syarat sebelumnya, maka ini diperbolehkan dan tidak ada masalah dengan hal demikian.
Bahkan, hal ini termasuk dalam prinsip membalas kebaikan dengan kebaikan. Nabi ﷺ pernah bersabda:
فإنَّ مِن خَيْرِكُمْ أحْسَنَكُمْ قَضَاءً
”Sesungguhnya termasuk orang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik dalam memenuhi hak-hak orang lain (hutang dan lainnya).” (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Dari riwayat Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
أَتَيْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ ضُحًى فَقَالَ: صَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَكَانَ لِيْ عِنْدَهُ دَيْنٌ فَقَضَانِيْ وَزَادَنِيْ
”Aku mendatangi Nabi ﷺ di masjid pada waktu Dhuha, lalu beliau bersabda,”Shalatlah dua rakaat!” Rasulullah ﷺ punya hutang kepadaku, lalu beliau melunasi hutangnya kepadaku dan memberiku tambahan.” (Hadits riwayat Al- Bukhari).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa manfaat (keuntungan) yang dihasilkan dari pinjaman akan menjadi haram jika diberlakukan sebagai syarat. Prinsip ini berlaku pada setiap pinjaman yang menghasilkan keuntungan sehingga dianggap sebagai riba.
Termasuk dalam kategori manfaat yang disyaratkan adalah pemberian hadiah atau manfaat yang diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman sebelum pelunasan padahal tidak ada kebiasaan saling memberi hadiah di antara keduanya.
Tindakan memberi hadiah sebelum pelunasan semacam ini memiliki keserupaan dengan riba, dan telah terdapat atsar dari sahabat Nabi ﷺ yang melarang hal itu.
فقد روى البخاري عن أبي بردة قال: (أتيت المدينة فلقيت عبد الله بن سلام فقال لي: ألا تجيء إلى البيت حتى أطعمك سويقاً وتمراً فذهبنا فأطعمنا سويقاً وتمراً، ثم قال: إنك بأرض الربا فيها فاشٍ -أي منتشر- فإذا كان لك على رجل دين فأهدى إليك حمل تبن أو حمل شعير أو حمل قت فلا تقبله فإن ذلك من الربا)
Al-Bukhari telah meriwayatkan dari Abu Burdah, dia berkata,”Aku datang ke Madinah, lalu aku bertemu dengan Abdullah bin Salam radhiyallahu ‘anhu. Dia berkata kepadaku,”Tidakkah kamu datang ke rumahku sehingga aku menjamu kamu dengan sawiq (makanan yang terbuat dari gandum yang bagus ) dan tamar (kurma yang dikeringkan)?”
Kami pergi dan dia memberi kami jamuan makan sawiq dan tamar. Kemudian dia berkata,”Engkau berada di wilayah yang di dalamnya riba tersebar luas. Jika seseorang yang berutang kepadamu menemuimu, dan dia menawarkan padamu sepikul jerami, sepikul biji-bijian untuk pakan hewan, atau sepikul pakan ternak, janganlah kamu menerimanya, karena itu termasuk riba.”[i]
Demikian ulasan singkat tentang kaidah fikih kullu qardhin jarra manfa’ah fahuwa riba. Semoga bermanfaat. Apa saja yang sesuai dengan kebenaran dalam tulisan ini adalah karena rahmat Allah dan taufik-Nya.
Bila ada kesalahan di dalamnya maka dari kami dan setan. Semoga Allah Ta’ala mengampuni semua kesalahan kami dan kaum Muslimin.
[i] https://shamela.ws/book/9289/125#p1