Arti laisal fata man yaqulu kana abi wa lakinnal fata man yaqulu ha anadza

Arti Laisal Fata Man Yaqulu Kana Abi dan Penjelasanya Lengkap

No Comments

Photo of author

By Afiyah Media

Ungkapan laisal fata man yaqulu kana abi merupakan ungkapan yang sangat populer di kalangan para penuntut ilmu atau pelajar Islam di berbagai sekolah dan pondok pesantren Islam.

Ungkapan ini memuat pesan agar seorang pemuda harus berusaha sendiri untuk meraih ketinggian derajat dan kemuliaan dalam kehidupan. Dia tidak bisa menyandarkan hal itu kepada nasab, pangkat dan kedudukan orang tuanya.

Tulisan berikut ini menjelaskan ungkapan Laisal Fata Man Yaqulu Kana Abi, lafazhnya dalam Bahasa Arab dan asal usulnya.

Tulisan Arab dan artinya

Lafazh Arab dari ungkapan laisal fata man yaqulu kana abi adalah sebagai berikut:

لَيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ أَبِيْ وَلَكِنَّ الفَتى مَنْ يُقُوْلُ هَا أَنَا ذَا

Pemuda itu bukanlah orang yang selalu berkata,”Itu lho Ayahku …”

Sesungguhnya pemuda adalah orang yang berkata,”Inilah aku.”

Ungkapan diatas lebih terkenal dari ungkapan aslinya:

إِنَّ الفَتى مَنْ يُقُوْلُ هَا أَنَا ذَا … لَيْسَ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ كَانَ أَبِيْ

Sesungguhnya pemuda adalah orang yang berkata, ”Inilah aku.”

Pemuda itu bukanlah orang yang selalu berkata, ”Itu lho Ayahku …”

Penjelasan

Ungkapan ini menyoroti pentingnya kemandirian, identitas pribadi, dan kemauan untuk berkembang secara individual. Pesan utama dari ungkapan ini adalah bahwa pemuda yang sejati tidak hanya mengandalkan atau mengidentifikasikan diri mereka dengan apa yang telah dicapai atau dijalani oleh orang tua atau pendahulu mereka.

Bagian pertama dari ungkapan,”Pemuda itu bukanlah orang yang selalu mengatakan ayahku adalah orang yang demikian dan demikian…”, mengacu pada perilaku yang hanya merujuk pada kesuksesan atau karakteristik orang tua sebagai dasar untuk mengidentifikasi diri.

Dalam hal ini, pemuda yang hanya menggantungkan diri pada cerita-cerita tentang prestasi atau ciri-ciri keluarganya, tanpa mencoba membangun jati diri mereka sendiri, dianggap kurang memiliki kemandirian dan identitas yang kuat.

Namun, bagian kedua dari ungkapan, “…Tapi pemuda adalah orang yang mengatakan, ‘Inilah aku,'” mendorong individu untuk menemukan jati diri mereka sendiri, merangkul keunikan mereka, dan bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan mereka sendiri.

Ungkapan ini mendorong pemuda untuk memiliki pandangan, nilai, dan tujuan pribadi yang tidak hanya ditentukan oleh latar belakang keluarga atau pendahulu mereka. Dengan mengatakan “Inilah aku,” mereka menegaskan bahwa mereka adalah individu yang unik dan memiliki potensi untuk menciptakan hal berbeda di dunia ini.

Secara keseluruhan, ungkapan ini mengajarkan pentingnya mengembangkan identitas pribadi, memahami diri sendiri, dan memiliki tekad untuk berdiri sebagai individu yang mandiri dan berpengaruh. Ini menggarisbawahi nilai kreativitas, inovasi, dan keberanian untuk mengejar impian dan tujuan pribadi tanpa terjebak dalam bayangan atau harapan orang lain.

Kisah Ungkapan Laisal Fata

Mengenai asal-usul dari ungkapan laisal fata, dalam kitab I’lamun Nas Bima Waqa’a Lil Baramakah Ma’a Bani Al-‘Abbas karya Al-Itlidi (w. 1100 H) dikisahkan bahwa suatu hari Al-Hajjaj memerintahkan pengawalnya untuk berkeliling di malam hari, dan siapa pun yang ditemui di jalanan setelah waktu ‘Isyak lehernya dipenggal.

Pengawal itu berkeliling pada malam hari dan menemukan tiga anak muda yang mabuk dan terlihat efek minuman keras pada mereka.

Dia mengelilingi mereka dan bertanya, ”Siapa kalian sehingga kalian berani melanggar perintah Gubernur?”

Kemudian pemuda pertama menjawab,

أنا ابن من دانت الرقاب له ما بين مخزومها وهاشمها

تأتي إليه الرقاب صاغرة يأخذ من مالها ومن دمها

“Aku adalah anak dari orang yang banyak leher manusia mendekat kepadanya… antara Makhzum dan Hasyimnya.

Leher-leher itu datang kepadanya dalam keadaan menunduk…Dia mengambil sebagian dari harta mereka dan darah mereka.”

Petugas itu menahan diri dari membunuhnya dan berkata,”Mungkin dia memiliki hubungan kerabat dengan Gubernur (yaitu Al-Hajjaj).”

Kemudian yang kedua berkata,

أنا ابن الذي لا ينزل الدهر قدره وإن نزلت يوماً فسوف تعود

ترى الناس أفواجاً إلى ضوء ناره فمنهم قيامٌ حولها وقعود

”Aku adalah anak dari orang yang periuknya tidak turun sepanjang masa, dan jika turun suatu hari, dia pasti akan kembali.

Kamu akan melihat orang-orang bergerombol di sekitar cahaya apinya, ada yang berdiri dan ada yang duduk.”

Petugas itu menahan diri dari membunuhnya dan berkata, ”Mungkin dia dari keturunan bangsawan Arab.”

Kemudian yang ketiga berkata,

أنا ابن الذي خاض الصفوف بعزمه وقومها بالسيف حتى استقامت

 ركاباه لا تنفك رجلاه منهما إذا الخيل في يوم الكريهة ولت

”Aku adalah anak dari orang yang terjun ke dalam barisan-barisan dengan tekadnya dan meluruskannya dengan pedang hingga barisan menjadi lurus.

Kedua kakinya tidak pernah lepas dari pijakannya, saat kuda pada hari yang sulit berbalik arah.”

Petugas tersebut menahan diri dari membunuhnya dan berkata,”Mungkin dia dari pahlawan Arab.”

Setelah pagi tiba, perkara mereka diajukan kepada Al-Hajjaj. Mereka dihadirkan dan disingkap identitasnya. Ternyata yang pertama adalah anak tukang bekam. Yang kedua adalah anak tukang roti, dan yang ketiga adalah anak tukang tenun.

Al-Hajjaj terkagum-kagum dengan kefasihan mereka dan berkata kepada para sahabatnya,”Ajarilah anak-anak kalian adab (sastra). Demi Allah, jika bukan karena kefasihan mereka, aku pasti akan membunuh mereka.”

Kemudian ia membebaskan mereka dan mengucapkan syair:

كن ابن من شئت واكتسب أدباً يغنيك محموده عن النسب

 إن الفتى من يقول: ها أنا ذا ليس الفتى من يقول: كان أبي

”Jadilah anak siapa saja yang engkau kehendaki, dan perolehlah adab yang kebaikannya membuatmu tidak perlu mengandalkan kepada nasab.

 Sesungguhnya pemuda adalah orang yang berkata,”Inilah aku.” Bukanlah pemuda orang yang selalu berkata,”Dialah Ayahku…”[i]

Ungkapan ini menunjukkan bahwa Al-Hajjaj terkesan oleh kecerdasan dan kefasihan mereka dalam menjawab pertanyaannya.

Ia menyarankan agar para orang tua mengajarkan adab (yaitu sopan santun dalam sikap dan perilaku serta fasih dan baik dalam bertutur kata) kepada anak-anak mereka, karena sikap dan perilaku serta tutur kata yang baik dan fasih itu sangat penting dalam upaya melahirkan pribadi yang mulia dan bermartabat. Hal itu tidak akan bisa dicapai dengan bersandar kepada kemuliaan nasab atau garis keturunan seseorang.

Demikian penjelasan ungkapan Laisal Fata Man Yaqulu Kana Abi disertai penjelasan dibalik ungkapan tersebut. Wallahu a’lam.


[i] https://al-maktaba.org/book/31862/3827

Leave a Comment